24 October 2008

Cerita Lama Inflasi

Dalam laporan kebijakan moneter triwulan III yang diterbitkan minggu lalu, Bank Indonesia, otoritas moneter kita, memulai laporannya dengan paragraf:

Tekanan inflasi di Indonesia pada triwulan III-2008 masih tinggi. Hal ini terutama berasal dari tingginya ekspektasi inflasi masyarakat, kuatnya permintaan domestik, serta dampak imported inflation terkait dengan potensi pelemahan nilai tukar rupiah sebagai akibat dari krisis keuangan di AS. Menyikapi perkembangan tersebut, pada tataran kebijakan, Dewan Gubernur Bank Indonesia memandang perlu untuk mengendalikan tekanan inflasi guna mencapai sasaran inflasi dalam jangka menengah dan menjaga kestabilan ekonomi pada umumnya.


Dari paragaraf di atas, jelas terlihat fokus berlebihan Bank Indonesia terhadap inflasi. Padahal saat ini, negara manapun di dunia justru tengah mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap kemungkinan perlambatan ekonomi, bahkan resesi. Inflasi adalah cerita lama. Cerita 3 bulan lalu, ketika harga energi sedang membumbung tinggi.

Paragraf inilah yang kemudian menjadi biang kerok, mengapa Indonesia yang menjadi satu-satunya negara yang menaikkan suku bunga.

28 August 2008

Kredit Bank Menanjak

05 August 2008

Harga Migas dan CPO mendongkrak Ekspor

Lonjakan drastis harga batubara, minyak bumi dan CPO setahun terakhir rupanya telah membawa berkah bagi ekonomi Indonesia. Setidaknya dalam mendongkrak kinerja ekspor. Tengok saja, nilai ekspor kita tumbuh hingga 30% pada semester pertama 2008. Padahal ekspor tanpa migas hanya tumbuh 23%. Ekspor tanpa CPO dan migas tumbuh 12%. Ekspor tanpa migas, CPO dan bahan bakar mineral hanya tumbuh 10%.

04 April 2008

Karma IMF

Siapa tak kenal IMF. Sepak terjang lembaga tsb selama beberapa dekade terakhir telah menjadi buah bibir berbagai kalangan di seluruh penjuru dunia. IMF adalah lembaga kreditor internasional yang mengklaim dirinya mampu menolong negara-negara dari kesulitan keuangan. Layaknya seorang dokter, IMF melakukan diagnosa penyakit, menuliskan resep-resep penyembuhan, sekaligus juga menentukan biaya yang dibebankan ke si pasien.

Ironisnya, setelah puluhan tahun memberi pertolongan keuangan kepada negara anggotanya, IMF kini justru balik menderita kesulitan keuangan sendiri. Akhir tahun lalu, negara-negara pemegang kendali IMF bahkan telah memaksa Direktur Pelaksana IMF yang baru, Dominique Strauss-Kahn untuk melakukan pemotongan anggaran secara besar-besaran.

Dewa penolong rupanya tengah membutuhkan pertolongan. Sang dokter ahli gizi ternyata sedang menderita gizi buruk.

BUAH KEGAGALAN
Kesulitan keuangan yang dihadapi IMF tidak lepas dari kegagalan program IMF di berbagai negara, yang terakumulasi menjadi ketidakpercayaan dari negara anggotanya. Dalam banyak kasus, keberadaan IMF bukannya malah menolong, namun justru semakin memperparah kondisi ekonomi negara pasiennya. Menolong hanya dalih, karena faktanya IMF lebih sering mendikte negara pasiennya untuk menjalankan kebijakan ekonomi pilihan IMF, yang sebenarnya tidak sesuai dan banyak bertentangan dengan permasalahan dan kebutuhan negara pasiennya.

Salah satu kritik utama yang pernah dilontarkan sejumlah kalangan adalah IMF selalu memberikan resep yang sama untuk kasus-kasus yang dihadapi oleh berbagai negara. Tak peduli jenis maupun penyebab penyakitnya, resep standar tsb selalu digunakan untuk mengobati pasiennya. Resep standar yang berjuluk Structural Adjustment Program (SAP) tsb berisi kebijakan-kebijakan ekonomi yang sealiran dengan Konsensus Washington, yang dibelakangnya tersembunyi kepentingan-kepentingan negara-negara maju.

Salah satu elemen penting dari SAP adalah efisiensi anggaran, melalui pemotongan berbagai jenis subsidi termasuk subsidi pendidikan, kesehatan dan subsidi energi. Meskipun diklaim bertujuan untuk meningkatkan efisiensi anggaran, namun program tsb tidak lebih untuk menjamin ketersediaan anggaran sehingga negara pasiennya mampu mencicil bunga utang kepada IMF maupun negara kreditor internasional. Padahal negara pasien harus menanggung beban berat karena akibat kebijakan tsb. Kelompok miskin tidak lagi mampu mengakses pendidikan dan kesehatan yang layak, daya beli masyarakat anjlok, dan kesenjangan pendapatan semakin melebar.

Elemen SAP lain yang cukup dikenal adalah privatisasi atau divestasi aset negara (BUMN). Meskipun diklaim dapat meningkatkan efisiensi BUMN, namun dalam implementasinya, penjualan aset BUMN lebih banyak merugikan negara pasien karena dijual dengan harga yang sangat murah dan menyebabkan PHK terhadap ratusan karyawan BUMN. Program IMF tersebut justru dimanfaatkan oleh investor-investor asing, yang sebagian adalah rekanan IMF sendiri, untuk membeli aset-aset di negara berkembang dengan harga semurah-murahnya.

Dengan pendekatan yang mendikte seperti di atas, tidak heran jika sejumlah negara akhirnya lebih memilih untuk meninggalkan IMF dan menghentikan kerjasama bahkan lebih cepat dari waktunya. Sebut saja Argentina, Nigeria dan Indonesia yang beberapa tahun lalu memutuskan untuk mempercepat pelunasan utang kepada IMF, dan menyebabkan lembaga kreditor tersebut kehilangan sumber penerimaan yang sangat besar.

KENA KARMA
Kini IMF mendapat karma dari berbagai programnya ke negara-negara berkembang. Berdasarkan dokumen internal IMF yang bocor ke media, IMF berencana melakukan Structural Adjustment demi menyelamatkan lembaga tersebut dari kerugian yang terus menerus. Inti dari program tersebut adalah efisiensi anggaran melalui rasionalisasi, perombakan birokrasi dan efisiensi pemanfaatan aset IMF, yang tidak lain merupakan program sejenis dengan yang pernah IMF paksakan ke negara anggotanya. Dalam dokumen internal tsb, dikatakan bahwa IMF berencana melakukan PHK terhadap sekitar 300-400 karyawannya dan mendorong sejumlah karyawan senior untuk mengambil pensiun dini. IMF juga berencana menggabung beberapa divisi dalam struktur organisasinya, mengurangi produksi laporan, mengefisienkan pemanfaatan aset dengan menyewakan gedung dan apartemen milik IMF, dll.

Tidak mudah bagi IMF untuk mengimplementasikan berbagai rencana efisiensi tsb, karena IMF harus bekerja keras memikirkan cara menghadapi karyawannya. Pasalnya, suasana internal karyawan IMF sedang sangat sensitif dan penuh konflik. Ini setelah tahun 2006 lalu, manajemen IMF merestrukturisasi kompensasi yang mendapat perlawanan keras dari karyawannya. Asosiasi karyawan bahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah IMF, melakukan tuntutan hukum kepada manajemen IMF. Malahan kabarnya, karyawan IMF pernah menggunakan pakaian serba hitam sebagai simbol protes terhadap kebijakan kompensasi oleh manajemen.

Lembaga yang selama ini menasihati negara berkembang untuk melakukan pemotongan anggaran dipaksa harus berpikir keras untuk mencari cara memotong anggarannya sendiri. Lembaga yang selalu menekankan pentingnya efisiensi aset negara dan reformasi birokrasi, kini dipaksa memikirkan solusi untuk mengefisiensikan penggunaan aset dan reformasi birokrasinya sendiri. Lembaga yang selama ini seperti berpura-pura tidak tahu akan dampak buruk dari berbagai kebijakannya, kini harus siap menghadapi sendiri dampak buruk tersebut.

IMF selama ini begitu mudahnya memberikan saran pemotongan anggaran, menjual aset-aset negara, mengetatkan likuiditas, melakukan reformasi birokrasi, dll, karena tidak menghadapi resiko akan dampak buruknya bagi ekonomi dan nasib rakyat miskin di negara pasiennya. Namun kini IMF dipaksa harus melaksanakan sendiri berbagai kebijakan tersebut, dan sekaligus harus siap-siap menanggung resikonya. Karma itu telah datang dan mudah-mudahan IMF bisa menarik banyak pelajaran darinya.

27 February 2008

Stop Muji Ekspor !

Barangkali kini saatnya bagi pemerintah untuk berhenti memuji ekspor. Faktanya selama 3 tahun terakhir, pertumbuhan ekspor semakin mengkhawatirkan karena terus mengalami penurunan. Tahun 2008, ekspor malah akan menghadapi tantangan lebih berat lagi karena ekonomi dunia yang diperkirakan melemah.

Stop muji ekspor! Lebih baik pikirkan solusi agar ekspor tidak semakin melambat.

Tahun 2007: Rakyat Indonesia Makan Lebih Banyak

Konsumsi makanan biasanya hanya tumbuh sekitar 2% per tahun, sedikit lebih tinggi dibanding laju pertumbuhan penduduk. Namun tahun 2007 rupanya menjadi pengecualian. Konsumsi makanan tumbuh lebih dari 4%. Tahun lalu, rakyat Indonesia ternyata makan lebih banyak dari biasanya.


18 December 2007

Politik Angka

Politik adalah melebih-lebihkan. Jika tidak yah, mengurang-ngurangkan. Ketika salah satu tokoh politik berkampanye misalnya, angka kemiskinan Indonesia dikatakan mencapai 49.5 persen. Memang tidak salah. Hanya saja tokoh tersebut memilih data Bank Dunia, yang kita ketahui memiliki definisi paling ekstrim tentang kemiskinan.

Barangkali itulah yang kemudian membuat gusar Presiden Yudhoyono. Dalam sambutannya pada Peringatan Hari Ibu, Yudhoyono secara tegas menyampaikan angka 49,5 persen tersebut tidak akurat.

Seakan ingin memberikan data yang jujur, Yudhoyono kemudian menyampaikan bahwa dari tahun ke tahun angka kemiskinan menurun. Jika pada 1998 mencapai 24,1 persen, maka pada 2005 telah mencapai 15,9 persen.

Pernyataan Yudhoyono lagi-lagi benar. Tetapi periode yang dipilih bukan selama ia memerintah Indonesia, yang kita tahu pada periode tersebut, angka kemiskinan sebenarnya meningkat.

Melebih-lebihkan dan mengurang-ngurangkan. Itulah politik.

15 August 2007

IHSG, berapa support level mu?

Pembekuan dua hedge fund milik Bear Stearns tanggal 1 Agustus lalu adalah awal dari semuanya. Baru kemudian terkuak bahwa banyak hedge fund ternama lain yang juga terkena dampak subprime loan di AS.

Sowood Capital (US), American Home Mortgage( US), BNP Paribas, AXA SA (French), KfW, IKB Deutsche Industrial bank AG (Germany), Basis Capital Fund, Absolut Capital, Fortress Investments (Australia) adalah beberapa di antaranya.

Indeks bursa AS pun goyang, yang diikuti anjloknya bursa saham hampir di seluruh dunia. Tapi anehnya, bursa Jakarta yang emiten-emitennya relatif tidak memiliki exposure terhadap subprime loan di AS justru memimpin koreksi bursa dunia.



Semula dikira hanya dampak temporer, tetapi karena hingga hari ini JSX terus memimpin koreksi, banyak investor yang akhirnya mulai bingung dan bertanya “IHSG, berapa support level mu?"

27 April 2007

Trik Mendandani Angka

Depkeu memprediksi ekonomi kuartal pertama 2007 tumbuh antara 5,7 - 5,9 %. Sri Mulyani pun menyatakan ekonomi on track. Kenapa? Katanya, karena angka tersebut lebih tinggi dibanding angka kuartal pertama 2006 yang hanya 5%.

Perbandingan kuartal yang sama memang merupakan metode yang masuk akal. Biasanya itu dilakukan analis untuk men-adjust siklus musim. Tapi angka pertumbuhan yang dimaksud merupakan angka pertumbuhan YoY, yang sebenarnya telah di-adjust musiman. Jadi, jika dibandingkan kembali, justru akan menjadi redundant dan menyesatkan.

Sebagai bekas analis dan peneliti, Sri Mulyani harusnya sangat paham akan metode ini. Hanya saja kondisi sebenarnya adalah, dengan prediksi 5,7-5,9%, pertumbuhan ekonomi berarti tidak melanjutkan tren meningkat seperti dua kuartal sebelumnya. Jika ini diungkap, tentu akan menurunkan pamor pemerintah, khususnya Sri Mulyani sebagai Menkeu. Dengan alasan itulah, Sri Mulyani akhirnya menggunakan pembanding yang lebih rendah (Q1-2006).

Sebuah trik mendandani angka. Nampaknya Sri Mulyani rajin membaca buku”How to lie with statistics”.

26 April 2007

18 ribu pada 2030 = Mengulang Periode Memprihatinkan

25 tahun terakhir, kemajuan yang dicapai Indonesia dari sisi Income per capita cukup memprihatinkan. Paling buruk di antara Malaysia, China, Vietnam, Thailand dan Korea. Pada periode 1980-2005, Indonesia hanya mencatat kenaikan income per capita sekitar 4,5 kali. Padahal Malaysia berlipat sebanyak 4,9 kali. Thailand 6,3 kali. Vietnam 7,2 kali. Korea 8,6 kali. China bahkan mencapai 16,1 kali.

Tentunya, Indonesia menginginkan adanya perbaikan dalam 25 tahun ke depan. Tidak lagi mengulangi pengalaman buruk yang terjadi pada 25 tahun sebelumnya. Nah, kebetulan baru-baru ini, Yayasan Indonesia Forum meluncurkan visi Indonesia 2030. Dalam visi tersebut, Income per capita Indonesia diproyeksikan mencapai US$ 18 ribu pada 2030.

Pertanyaannya, seandainya visi ini tercapai, apakah Indonesia dapat dikatakan telah lebih baik?

Jika dihitung, angka US$ 18 ribu pada 2030 ternyata hanya sekitar 4,5 kali dari income perkapita tahun 2005 (US$ 4.04 ribu). Dengan kata lain, jika visi tersebut benar terjadi, Indonesia justru mengulang periode memprihatinkan pada 25 tahun sebelumnya.

Tapi anehnya, koq banyak kalangan, bahkan Presiden SBY sendiri menyatakan visi itu terlalu berani ya?