*Jawapos, 6 Jul 2005 | Phone Nuryadin
BERITA buruk bidang ekonomi satu bulan terakhir susul menyusul antara kelangkaan BBM, kekurangan gizi, ketidakjelasan cashflow pemerintah, inflasi tinggi, kenaikan suku bunga, dan anjloknya rupiah.
Minggu lalu, BPS kembali menambah daftar tersebut dengan mengumumkan peningkatan angka pengangguran. Antara Agustus 2004 hingga Februari 2005, jumlah pengangguran terbuka meningkat sekitar 600 ribu orang atau 0,4 persen dari angkatan kerja.
Biasanya, berita peningkatan pengangguran di Indonesia kalah bersaing dengan berita melemahnya rupiah atau peningkatan beban anggaran. Reaksi pengambil kebijakan pun relatif biasa.
Paling tidak, selama ini belum pernah ada rapat khusus yang membahas isu pengangguran. Pengangguran hanya menarik untuk dijadikan materi yang dikemas dalam sebuah janji kampanye untuk meraih simpati masyarakat, tetapi tidak menjadi acuan dalam penyusunan dan pengambilan kebijakan.
Rendah, Kualitas Pertumbuhan
Terlepas dari perubahan metodologi dan berbagai kritik terhadap perhitungan data PDB oleh BPS, adalah ironi bahwa peningkatan pengangguran terjadi ketika ekonomi tumbuh hampir setara dengan target pertumbuhan ekonomi pemerintah SBY.
Pada kuartal IV 2004 dan kuartal I 2005, Indonesia berturut-turut mencatat pertumbuhan sekitar 6,7 persen dan 6,4 persen atau rata-rata 6,55 persen. Sementara itu, target pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY sekitar 6,6 persen per tahun.
Jika mengacu pada kecenderungan sebelum krisis, yang setiap satu persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 400 ribu tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi enam bulan terakhir seharusnya mampu menyerap seluruh tambahan angkatan kerja baru. Bahkan, seharusnya terjadi penciptaan lapangan kerja tambahan sekitar 120 ribu orang per tahun.
Namun faktanya, pertumbuhan tinggi sekitar 6,55 persen selama dua kuartal terakhir ternyata tidak diikuti pengurangan pengangguran. Padahal, itu merupakan indikator ekonomi paling penting bagi sebuah bangsa.
Target kuantitatif pertumbuhan telah tercapai, tetapi belum ada tanda-tanda persoalan ekonomi, seperti kemiskinan, pengangguran, akan terselesaikan. Alih-alih mampu menyelesaikan persoalan, yang terjadi justru sebaliknya. Pengangguran semakin meningkat.
Fenomena tersebut memberikan gambaran bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi selama ini masih sangat rendah. Selama lima tahun terakhir misalnya, pada setiap satu persen pertumbuhan ekonomi, jumlah lapangan kerja yang tercipta hanya sekitar 250 ribu orang per tahun, lebih rendah dari kemampuan penciptaan lapangan kerja sebelum krisis yang mencapai 400 ribu orang.
Selain itu, fenomena tersebut juga memberi indikasi telah terjadi inequality dampak pertumbuhan terhadap kesejahteraan masyarakat. Ekonomi secara agregat memang meningkat, tetapi peningkatan tersebut tidak dialami seluruh masyarakat, melainkan hanya dialami sekelompok masyarakat tertentu.
Perlu Perubahan kebijakan
Rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi sebenarnya dapat diprediksi sejak awal. Pernyataan BPS bahwa pengangguran meningkat karena investasi belum menyentuh pada kegiatan padat karya (labor intensive) mungkin benar.
Tetapi, hal paling fundamental atas semua itu adalah arah kebijakan ekonomi yang masih menganut kebijakan pemerintahan sebelumnya, yang cenderung fokus pada upaya menstabilkan indikator makroekonomi, seperti inflasi, suku bunga, nilai tukar, dan mengurangi defisit anggaran. Terlepas dari fakta pemerintah saat ini gagal menstabilkan makroekonomi, arah kebijakan seperti itu menaifkan persoalan utama bangsa, yaitu pengangguran dan kemiskinan.
Di negara mana pun, stabilitas makroekonomi hanya merupakan "sasaran antara" dan bukan sasaran akhir. Pemerintah boleh saja berupaya menstabilkan makroekonomi, tetapi tidak lantas mengesampingkan kemiskinan dan pengangguran.
Kekeliruan arah kebijakan ekonomi sebenarnya telah dianut pemerintah sejak era Megawati, namun sempat diluruskan kembali oleh Presiden SBY dalam visi-misinya. Presiden SBY memberikan garis yang jelas pada upaya memberdayakan ekonomi pedesaan, pertanian, dan UKM. Bahkan, hingga saat ini garis kebijakan tersebut seringkali dipertegas oleh Presiden SBY dalam berbagai pernyataan di media.
Hanya sayang, visi misi tersebut tidak terimplementasikan dalam kebijakan dan tindakan tim ekonomi kabinet. Tim ekonomi malah jelas-jelas berencana meneruskan kebijakan ekonomi pemerintahan sebelumnya, yang kembali fokus pada stabilitas makroekonomi.
Konsentrasi pengambil kebijakan ekonomi pun cenderung pada upaya memoles indikator makroekonomi dan proyek infrastruktur yang relatif lebih bernuansa promosi kebijakan. Sebaliknya, jarang sekali ada pembahasan bagaimana mengoptimalkan anggaran untuk memberi stimulus kepada ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Bagaimana menggunakan indikator makroekonomi untuk membuka lapangan kerja lebih luas. Bagaimana membangun infrastruktur di pedesaan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin di pedesaan.
Sekaranglah saatnya bagi pemerintah untuk melakukan koreksi dan perubahan strategi kebijakan ekonomi, yang mengarah kepada perbaikan kuantitas sekaligus kualitas ekonomi. Jika tidak, bukan tidak mungkin ekonomi Indonesia 2009 hanya akan berprestasi di angka-angka, tetapi tidak pada kesejahteraan rakyat.
06 July 2005
Pengangguran v Kebijakan Ekonomi
Labels: Kebijakan, Pengangguran, Pertumbuhan ekonomi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment