03 May 2005

Optimisme di tengah kecemasan

Bisnis Indonesia, 3 Mei 05 | Phone Nuryadin
PEMERINTAH manapun pasti ingin dikatakan berhasil mensejahterakan rakyatnya. Jika perlu, keluh kesah masyarakat harus ditekan sesedikit mungkin. Keluh kesah cenderung hanya menjadi pertanda pemerintah gagal. Bisa-bisa pamor pemerintah anjlok dan tidak dipercaya lagi memimpin bangsa.

Tidak aneh jika dalam setiap kesempatan berbicara ke publik, pemerintah sangat suka menebar optimisme. Misalnya optimisme perbaikan ekonomi. Tidak hanya dilakukan oleh para menteri, tetapi juga sangat getol dikampanyekan para staf menteri.

Optimisme memang sesuatu yang wajar dan malah sangat dibenarkan oleh prinsip self fulfilling prophecy. Pemerintah yang optimis dapat memberi keyakinan kepada rakyatnya. Rakyat pun akan ikut-ikutan merasa lebih nyaman berbelanja, para pemodal juga akan lebih terdorong untuk berinvestasi. Dampaknya, roda perekonomian bisa berputar lebih cepat.

Ada banyak indikator yang dapat digunakan untuk menebar optimisme ekonomi. Staf menteri yang paham makroekonomi tentu sudah hafal di luar kepala. Jumlahnya puluhan. Ada yang namanya leading indicators (indikator awal) seperti harga saham dan indeks keyakinan konsumen. Ada pula yang namanya coincident indicators (indikator yang bersamaan) seperti indeks produksi manufaktur, dan ada juga yang disebut lagging indicators (indikator pengikut) seperti posisi pinjaman industri dan komersial.

Yang mana yang dipilih, itu terserah siapa yang berkepentingan. Jika orangnya adalah staf menteri tadi, maka indikator yang dipilih pun pasti yang mendukung optimisme pemerintah. Pemilihannya pun cukup fleksibel, bisa berubah setiap waktu, bergantung perkembangan dari sejumlah indikator tersebut.

Di Indonesia, perubahan argumen seperti di atas benar terjadi. Dulu pada era pemerintahan Megawati, menteri ekonomi pemerintah sangat mengagungkan stabilitas finansial. Inflasi sangat rendah di bawah 6 persen, nilai tukar stabil pada level sekitar Rp 9.000/USD, Indeks Harga Saham terus mengalami peningkatan, serta suku bunga yang cukup rendah. Meskipun saat itu diakui bahwa perbaikan sektor riil masih jauh dari harapan, tetapi stabilitas finansial, katanya, merupakan sebuah landasan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Terlepas dari benar atau tidaknya pernyataan tersebut, tetapi yang jelas, keyakinan yang sama juga dianut oleh Tim Ekonomi SBY. Beberapa waktu setelah dilantik, Tim Ekonomi bertekad melanjutkan stabilitas finansial seperti yang dilakukan pemerintah Megawati. Dalam satu dua bulan pertama, Tim Ekonomi pun merasa optimis dan bangga dengan masih terkendalinya sejumlah indikator finansial. Indeks harga saham bahkan naik melebihi 1.000. Kesan yang muncul adalah Tim Ekonomi berhasil.

Celakanya, selama sebulan terakhir, sejumlah indikator finansial mulai berguguran. Indeks harga saham pada akhir Maret terjun bebas sebesar 88 poin, suku bunga SBI pun naik menjadi 7,7 persen, nilai tukar anjlok menjadi 9.700 per USD dan inflasi tahunan telah mencapai 8,8 persen. Suatu level yang tak terduga sebelumnya.

Berbagai gejolak tersebut dituding oleh beberapa kalangan sebagai kelemahan manajemen ekonomi pemerintah. Kritik pun dilontarkan pada kebijakan pemerintah seperti keraguan dalam penerbitan obligasi, ketidakmampuan melakukan persuasi APBN ke DPR dalam kasus BBM, keterlambatan pengucuran dana kompensasi, ketidakmampuan meredam inflasi, dll

Tapi Tim Ekonomi tidak mau kalah. Katanya, gejolak finansial merupakan dampak dari koreksi pasar global dan internasional yang terjadi belakangan ini. Padahal harus dicatat, melemahnya rupiah telah terjadi sejak awal pemerintahan. Pada saat pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu, nilai tukar rupiah sekitar Rp 9.075/USD, kemudian melemah secara persisten dan beberapa hari lalu telah mencapai Rp 9.744/USD. Persentase depresiasi tersebut bahkan merupakan rekor tertinggi dibandingkan dengan depresiasi rupiah pada dua pemerintahan sebelumnya.

Satu lagi, jika benar penyebabnya adalah faktor global, lalu mengapa nilai tukar negara-negara tetangga seperti Won Korea, Baht Thailand, dan Peso Philipina justru terus menguat? Seperti terlihat pada Grafik, rupiah selama enam bulan terakhir terus mengalami depresiasi, sementara mata uang Peso, Won dan Baht malah terus menguat. Tidak hanya itu, mata uang utama dunia seperti Yen dan Euro pun justru semakin menguat terhadap USD.



Kembali ke jenis indikator ekonomi, nilai tukar rupiah, harga saham dan suku bunga merupakan jenis leading indicators, yang merupakan indikasi awal dari pergerakan ekonomi. Pertanyaannya, apakah gejolak yang terjadi pada nilai tukar, harga saham dan suku bunga masih bisa membuat kita yakin bahwa ekonomi akan membaik?

Tim Ekonomi pemerintah pun cukup cerdik dengan merubah argumen agar tetap bisa optimis. Ketika indikator finansial tidak lagi dapat diandalkan, argumen kemudian dialihkan kepada indikator sektor riil. Optimisme akhirnya kembali ditebar dengan menyatakan pertumbuhan ekonomi masih di atas 5 persen, konsumsi listrik dan penjualan sepeda motor yang juga terus meningkat. Meski pengalihan argumen tersebut terkesan lucu, namun tetap sahih sepanjang didukung oleh landasan fakta yang kuat.

Untuk dipahami, indikator sektor riil selama ini tidak terlalu banyak dapat dijadikan senjata oleh pemerintah untuk optimis. Persoalannya, PDB (Produk Domestik Bruto) terus tumbuh pada level yang rendah di bawah 5 persen.

Beruntung beberapa bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan revisi metodologi perhitungan pertumbuhan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi terkesan lebih tinggi. Perubahan metode tersebut telah meng-upgrade pertumbuhan ekonomi antara 0,3-0,6 persen.

Untuk tahun 2001 misalnya, dengan menggunakan metode lama, pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 3,5 persen, namun dengan menggunakan metode baru, pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 3,8 persen. Untuk tahun 2002, pertumbuhan ekonomi di-upgrade dari 3,7 menjadi 4,3 persen. Sedangkan untuk tahun 2003, pertumbuhan ekonomi di-upgrade dari 4,1 menjadi 4,5 persen.

Artinya, pertumbuhan ekonomi 5,1 persen pada tahun 2004 sebenarnya setara dengan pertumbuhan sekitar 4,5 sampai 4,8 persen dengan menggunakan metode lama. Sebuah angka yang tidak pantas dijadikan dasar untuk optimis karena pertumbuhan tersebut masih lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi pada tahun 2000 yang mencapai 4,9 persen.

Perubahan indikator sektor riil lainnya pun tidak seoptimis yang dinyatakan Tim Ekonomi. Peningkatan konsumsi listrik sejak dua tahun lalu, sebagian terjadi karena adanya perubahan komposisi penggunaan energi pada sektor industri, lantaran melonjaknya harga solar. Setelah koreksi dilakukan, peningkatan konsumsi listrik sebenarnya tidak terlalu dramatis.

Peningkatan barang modal juga memang telah terjadi. Tetapi harus dicatat, jenis barang yang dikategorikan sebagai barang modal tidak semuanya digunakan untuk keperluan produksi. Sebagian besar impor tersebut terdiri dari impor mesin dan suku cadang mobil serta motor, yang masih dikategorikan sebagai barang modal. Padahal jenis barang tersebut jelas merupakan barang konsumsi, sehingga tidak mengindikasikan terjadi peningkatan aktivitas produksi.

Demikian juga halnya dengan peningkatan penjualan sepeda motor yang memang naik sangat tinggi karena kemudahan kredit penjualan mobil dan motor. Peningkatan kredit mobil dan motor terjadi karena sektor corporate masih bermasalah sehingga kredit bergeser ke sektor consumer. Sejumlah praktisi perbankan malah mulai mengindikasikan akan terjadinya peningkatan tingkat kredit macet di sektor consumer.

Singkatnya, optimis boleh saja, tetapi tidak serta merta membuat kita ceroboh memilih argumen dan salah mengidentifikasi persoalan. Gejolak finansial yang terjadi belakangan harus diakui merupakan salah satu indikasi makroekonomi yang sedang bermasalah. Terlalu naïf untuk tidak mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengan manajemen ekonomi kita.

No comments: