*Jawapos, 21 Feb 05 | Phone Nuryadin
BELUM habis kekecewaan masyarakat karena kinerja 100 hari pemerintahan SBY-Kalla belum memperlihatkan hasil nyata, rakyat harus kembali shock dengan rencana kenaikan harga BBM sekitar 30-40 persen.
Rakyat pun harus bersiap-siap menanggung dampak atas kenaikan tersebut terhadap harga makanan, biaya transportasi, dan kebutuhan pokok lain. Saat ini, harga kebutuhan pokok bahkan telah beranjak naik antara 5-10 persen. Pertanyaannya, apakah kenaikan harga BBM yang sangat tinggi telah menjadi pilihan terakhir pemerintah untuk menyelamatkan anggaran?
Memang harus diakui, kenaikan harga minyak dunia telah meningkatkan beban anggaran, terutama membengkaknya beban subsidi BBM. Dengan perubahan asumsi harga minyak dari USD 24 menjadi USD 35 per barel, misalnya, beban subsidi akan meningkat sekitar Rp 44 triliun. Tetapi, langkah pemerintah yang mengalihkan sebagian besar beban tersebut kepada rakyat merupakan pilihan tidak adil dan tidak bertanggung jawab.
Ketidakadilan dalam kebijakan itu tampak jelas karena pada saat yang sama, pemerintah justru terus meningkatkan subsidi kepada bank-bank melalui program penjaminan dan rekapitalisasi. Beberapa waktu lalu, pemerintah memberikan subsidi sekitar Rp 3,39 triliun kepada tiga bank yang dilikuidasi, yaitu Bank Asiatic, Bank Dagang Bali, dan Bank Global. Subsidi sejenis mungkin akan terus meningkat pada tahun ini. Sebab, ada tiga atau empat bank lagi yang menghadapi masalah sama.
Munculnya pernyataan bahwa kenaikan harga BBM adalah pilihan terakhir dan satu-satunya jalan untuk mengurangi beban anggaran sama sekali tidak berdasar. Pernyataan tersebut justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk memecahkan masalah anggaran. Padahal, terdapat sejumlah alternatif kebijakan yang selama ini dapat dilakukan, yaitu:
Pertama, pengurangan subsidi bank rekap. Untuk APBN 2004, pengeluaran bunga obligasi bank rekap mencapai Rp 41 triliun, dua kali lebih besar daripada subsidi BBM yang hanya mencapai Rp 19 triliun.
Pemerintah SBY tidak pernah sama sekali membahas pengurangan subsidi tersebut. Padahal, pengeluaran bunga obligasi bank rekap hanya dinikmati segelintir konglomerat dan bankir nakal, yang sama sekali tidak pantas menerima subsidi dari negara. Jika pemerintah benar-benar memiliki komitmen untuk berpihak kepada rakyat, pengurangan pembayaran bunga obligasi bank rekap harus dijadikan prioritas utama sebelum merencanakan pengurangan subsidi BBM.
Kedua, mengefisienkan Pertamina. Bukan rahasia lagi, Pertamina merupakan gudangnya korupsi dan penyuapan. Salah satu penyalahgunaan yang paling nyata di tubuh Pertamina saat ini adalah penggunaan jasa trading companies atau broker untuk melakukan ekspor dan impor minyak. Pada era Orde Baru, trading companies itu dikuasai putra-putra Soeharto dan keluarga Bakrie, dengan trading margin mencapai 20-30 sen per barel.
Keberadaan broker-broker telah menyebabkan pemborosan sangat besar di tubuh Pertamina. Bayangkan jika trading margin yang mereka peroleh sebesar 25 sen per barel, ketidakefisienan Pertamina dalam melakukan ekspor dan impor minyak mencapai Rp 16,5 miliar per hari atau kurang lebih Rp 6 triliun per tahun.
Karena itu, Pertamina harus didesak untuk melakukan ekspor dan impor minyak secara langsung agar tidak dibebani lagi dengan berbagai jenis pengeluaran yang tidak perlu.
Inefisiensi lain di tubuh Pertamina adalah tingkat utilisasi kilang minyak yang masih sangat rendah pada kisaran 70-80 persen sehingga belum menghasilkan output yang optimal. Padahal kilang minyak di negara lain memiliki tingkat utilisasi hingga 95 persen. Demikian juga sistem maintenance dan loss management program di kilang-kilang tersebut perlu diperbaiki untuk menekan jumlah output yang terbuang.
Ketiga, mengoptimalkan tawaran moratorium utang. Sikap pemerintah yang cenderung menolak tawaran moratorium utang pantas disesalkan. Jika pemerintah melakukan upaya serius, Indonesia paling tidak akan memperoleh pengurangan beban pembayaran utang sekitar Rp 25 triliun per tahun.
Dengan berkurangnya beban utang, Indonesia akan memperoleh kelonggaran anggaran yang signifikan. Pemerintah pun tidak harus terburu-buru menaikkan harga BBM yang tinggi pada awal tahun ini. Usulan agar menunda kenaikan BBM sembari mempersiapkan program kompensasi yang efektif bahkan menjadi pilihan yang jauh lebih optimal.
Sayangnya, pemerintah telah menyia-nyiakan momentum moratorium dan justru merencanakan kenaikan harga BBM yang membebani rakyatnya.
***
Ketiga alternatif tersebut membuktikan bahwa kenaikan harga BBM bukanlah merupakan pilihan terakhir dan jalan satu-satunya untuk mengurangi beban anggaran. Meski dua alternatif pertama disadari merupakan pilihan yang berat karena menyangkut bisnis konglomerat dan bankir nakal. Tetapi dengan komitmen tinggi terhadap rakyat, alternatif itu harusnya dapat dilaksanakan. Bukankah selayaknya SBY lebih berpihak kepada rakyat daripada konglomerat dan bankir nakal?
21 February 2005
Bukan Pilihan Terakhir
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment