*Jawapos, 16 Mar 2006|Phone Nuryadin
Setelah mengeluarkan berbagai paket ekonomi, pekan lalu Menko Perekonomian Boediono, kembali menyampaikan strategi kebijakan ekonomi nasional pada tahun ini. Dikatakan bahwa objektif utama pemerintah pada tahun 2006 adalah menstabilkan makroekonomi dengan menurunkan inflasi kembali menjadi satu digit. Baru kemudian diikuti dengan upaya membalikkan kemerosotan ekonomi dan menghidupkan investasi.
Sepintas memang menurunkan inflasi adalah kebijakan ekonomi yang paling masuk akal untuk dijadikan prioritas tahun ini. Pasalnya, inflasi tinggi tahun 2005 telah menjadi momok paling menakutkan bagi kalangan sektor riil dan industri keuangan.
Namun melihat perkembangan ekonomi beberapa bulan terakhir dan juga pengalaman kebijakan ekonomi pemerintah sebelumnya, strategi ekonomi yang lebih memprioritas inflasi dan stabilitas finansial sesungguhnya bukan merupakan sebuah langkah yang tepat.
Pertama, inflasi bukan lagi menjadi persoalan utama tahun ini. Memang benar pada tahun 2005, inflasi mencapai 17,1% dan menjadi sumber utama kemerosotan ekonomi sepanjang tahun. Tetapi apakah inflasi tahun 2006 akan setinggi tahun 2005?
Rasanya tidak. Tanpa upaya ekstra pun, inflasi diyakini akan jauh lebih rendah dan bahkan bukan tidak mungkin bisa mencapai level satu digit. Terkecuali pemerintah sendiri yang menciptakannya dengan kembali menaikkan harga-harga setinggi tahun 2005.
Tengok saja kecenderungan inflasi selama tiga bulan terakhir. Sejak Desember 2005 sampai Februari 2006, inflasi kumulatif hanya mencapai 1,9% atau secara rata-rata hanya sekitar 0,63% per bulan. Kencenderungan tersebut seharusnya relatif tidak terlalu berbahaya bagi ekonomi.
Kedua, stabilitas finansial memang penting, tetapi seharusnya tidak menjadi objektif utama, melainkan hanya sebagai objektif antara. Objektif utama suatu pemerintahan di bidang ekonomi tetap pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran.
Ini penting karena jika prioritasnya dibalik, maka langkah-langkah untuk mencapai stabilitas finansial seringkali kontradiktif dengan upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mengurangi pengangguran. Persis seperti yang terjadi pada ekonomi Indonesia periode 2002-2004.
Ketika itu, tim ekonomi pemerintah juga sangat mendewakan stabilitas finansial. Hasilnya, inflasi berhasil dijaga pada tingkat yang rendah antara 5-7%, kurs rupiah stabil pada level Rp 8.000 - 9.000 per US$ dan defisit anggaran berhasil ditekan dibawah 2% dari PDB. Tetapi di sisi lain, ekonomi tumbuh rendah sekitar 4-5% dan angka pengangguran meningkat dari 8,1% menjadi 9,9%.
Kondisi tersebut sekaligus juga telah menjadi titik lemah kinerja ekonomi di bawah Presiden Megawati sehingga menjadi sasaran kritik oleh hampir semua partai dan calon Presiden pada Pemilu tahun 2004. Pasangan SBY-JK bahkan secara optimal telah mamanfaatkan tingginya tingkat pengangguran sebagai bahan kampanye pemilihan Presiden.
Ketiga, sulit dimengerti, mengapa Menko Perekonomian harus terus menerus mengurusi stabilitas finansial dan moneter? Padahal urusan tersebut jelas merupakan wewenang Bank Indonesia. Meski tidak ada salahnya, tetapi sektor riil dan fiskal juga memiliki masalah tersendiri yang membutuhkan perhatian sangat besar dari Menko Perekonomian.
Di pasar barang, misalnya, para pedagang terus mengeluhkan penurunan penjualan. Hasil survei Bank Indonesia di 5 kota besar menunjukkan indeks riil penjualan eceran secara persisten terus mengalami kemerosotan. Jika pada bulan April 2005 mencapai 180,6, maka pada Februari 2006 hanya tinggal 131,2, atau tumbuh negatif sekitar 27%.
Para pengusaha di sektor industri juga mengalami pukulan yang berat akibat tingginya biaya operasional. Gelombang PHK semakin meningkat dan di sejumlah daerah, sebagian pengusaha bahkan telah memutuskan untuk menutup pabriknya.
Pertanyaannya, adakah yang telah dilakukan Menko Perekonomian untuk mengakhiri kemerosotan ekonomi tersebut setelah tiga bulan bekerja? Praktis tidak banyak, jika tidak ingin mengatakan tidak ada. Tindakan Menko yang bolak-balik mengurusi inflasi, suku bunga dan indikator finansial lainnya malah memberi kesan lari dari tanggung jawab dan cenderung menjadi upaya untuk mencari credit point.
Paket infrastruktur dan paket investasi yang disusun Menko pun pastinya bukanlah solusi. Pasalnya, paket investasi ternyata hanya paket "ompong melompong" yang berisi rencana kebijakan akan ini dan akan itu. Waktu pelaksanaannya pun sarat dengan penyelesaian peraturan perundang-undangan, yang membutuhkan proses penyelesaian yang sangat lama. Padahal derita sektor riil terus berpacu dengan waktu.
Satu hal lagi, akhir-akhir ini Indonesia dihadapkan pada persoalan strategis di bidang ekonomi yang menyangkut investasi dan keamanan berbisnis. Freeport menghadapi permasalahan karena masyarakat Papua mendesak perusahan tersebut menghentikan operasinya. Exxon Mobil dan Pertamina menghadapi persoalan terkait dengan pengoperasian Blok Cepu, yang akhirnya dimenangkan Exxon Mobil. Demikian juga Cemex yang berencana melakukan penjualan sahamnya di Semen Gresik.
Namun Menko Perekonomian kurang memberikan perhatian terhadap berbagai persoalan stategis tersebut. Padahal, apa gunanya Menko melakukan kampanye kebijakan investasi jika persoalan investasi yang ada di depan mata saja tidak diperhatikan?
Singkatnya, menjaga stabilitas finansial penting. Tetapi tidak lantas membuat kita naif dengan persoalan dan dinamika ekonomi riil jangka pendek. Menko Perekonomian beserta Tim-nya harus membuka diri, melihat masalah ekonomi secara lebih realistis agar tidak terus terperangkap dengan upaya mencapai stabilitas finansial.
16 March 2006
Terperangkap Stabilitas Finansial
Labels: Pasar uang-modal
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment