*Jawapos, 16 Feb 2006|Phone Nuryadin
Standard & Poors (S&P), lembaga pemeringkat utang yang cukup kredibel di lingkungan internasional, pekan lalu meningkatkan outlook rating utang Indonesia dari stable menjadi positive. S&P juga menegaskan rating utang Indonesia dalam valuta asing adalah 'B+/B' dan dalam mata uang lokal adalah 'BB/B'.
Apa artinya? Tidak semua masyarakat paham dan peduli tentang makna perubahan tersebut dan bahkan mungkin sebagian besar masih sangat asing dengan istilah rating utang. Masyarakat hanya memahami perubahan tersebut sebagai pertanda bahwa Indonesia semakin baik di mata internasional.
Wajar Meningkat
Rating atau peringkat utang suatu negara merupakan indikator yang melambangkan risiko negara tersebut di mata kreditor atau si pemberi utang. Secara garis besar, ada dua indikator utama penilaian risiko oleh lembaga pemeringkat, yaitu indikator risiko ekonomi (economic risk) dan risiko politik (political risk).
Resiko ekonomi terkait dengan kemampuan suatu negara untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang (capacity to pay). Sedangkan resiko politik terkait dengan kemauan pemerintahnya untuk terus taat membayar utang (willingness to pay).
Jika pekan lalu S&P meningkatkan rating Indonesia, itu berarti kreditor menilai pemerintah SBY-JK telah berhasil memperbaiki kedua indikator resiko tersebut, yaitu kapasitas (capacity) sekaligus kemauan (willingness) untuk membayar utang kepada kreditor.
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa Indonesia sangat wajar memperoleh perbaikan outlook rating dan bahkan cukup optimis dapat meningkat adalah benar adanya. Fakta memang menunjukkkan bahwa selama setahun terakhir, Indonesia telah berhasil memperbaiki kedua indikator tersebut.
Untuk indikator capacity to pay, yang tercermin pada neraca keuangan pemerintah (APBN), jelas menunjukkan adanya perbaikan selama setahun terakhir. Dari sisi penerimaan, pemerintah memperoleh tambahan anggaran yang cukup besar dari penerimaan Minyak Bumi dan Gas seiring melonjaknya harga minyak dunia.
Sedangkan pada sisi pengeluaran, pemerintah berhasil melakukan penghematan yang cukup signifikan. Beban subsidi BBM yang mencapai Rp 137 triliun, sebagian besar telah dipotong melalui kenaikan harga BBM yang sangat tinggi sebanyak dua kali selama tahun 2005.
Dengan tambahan penerimaan dan pemotongan subsidi tersebut, pemerintah pada tahun-tahun mendatang memiliki keleluasaan untuk mengalokasikan anggaran kepada sektor lainnya, termasuk salah satunya untuk membayar utang. Ini berarti kapasitas APBN telah meningkat.
Untuk indikator willingness to pay, pengendali kebijakan ekonomi pemerintah saat ini merupakan para ahli yang dikenal cukup patuh kepada kreditor. Apalagi dengan berbagai sikap dan rencana kebijakan mereka akhir-akhir ini, nampak sekali mereka tetap ingin menjadikan Indonesia sebagai pembayar utang yang baik.
Penolakan pemotongan utang (debt cut) merupakan salah satu contohnya. Alasannya, Indonesia tidak masuk kategori Highly Indebted Poor Country (HIPC) dan tidak ikut program IMF.
Meski alasan tersebut sangat mengada-ada, namun kira-kira begitulah gambaran kepatuhan Tim Ekonomi kepada kreditor. Disebut mengada-ada karena Nigeria juga bukan anggota HIPC dan tidak ikut program IMF, tetapi berhasil memperoleh potongan utang sekitar 60%.
Dengan latar belakang dan pilihan kebijakan Tim Ekonomi pemerintah saat ini, sangat wajar jika kreditor menilai Indonesia sebagai negara yang nyaris tidak memiliki resiko willingness to pay.
Stakeholders lain Terbebani
Sampai titik ini, penghargaan patut dipersembahkan kepada pemerintah SBY-JK karena telah berhasil memenuhi harapan salah satu stakeholders negara Indonesia. Namun perlu diingat, kreditor bukanlah satu-satunya stakeholders. Masih ada stakeholders lain yang seharusnya lebih diutamakan yaitu rakyat dan kalangan industri.
Sudahkah harapan mereka dipenuhi? Jika kembali mengulas setahun ke belakang, ketika pemerintah mengklaim terjadi tekanan terhadap APBN, pemerintah memiliki banyak pilihan untuk mengatasinya.
Ada dua pos belanja yang paling besar dalam APBN saat itu yaitu belanja subsidi dan cicilan utang, yang keduanya mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Pos belanja subsidi terkait dengan kepentingan rakyat dan industri, sementara pos pembayaran cicilan utang terkait dengan kepentingan kreditor.
Tetapi lantaran arah kebijakan yang lebih mengutamakan capacity dan willingness untuk membayar utang, pemerintah akhirnya mengorbankan rakyat dan kalangan industri melalui pemotongan subsidi BBM. Sementara beban utang samasekali tidak pernah diupayakan untuk dikurangi. Malahan rakyat ditakut-takuti dengan berbagai macam argumen tentang resiko pengurangan cicilan utang.
Demikian juga pada fenomena pengurangan subsidi listrik yang menjadi pro-kontra belakangan ini. Rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik jelas (TDL) dan keenggganan untuk menegosiasikan pemotongan utang merupakan indikasi bahwa pemerintah lebih memprioritaskan kepentingan kreditor ketimbang rakyat dan kalangan industri.
Jika memang ketidakmampuan APBN yang menjadi alasan, kalangan industri dan rakyat harusnya tidak dibiarkan lagi menanggung beban. Sementara kreditor terus dimanja dan dibiarkan menikmati cicilan pokok dan bunga utang yang semakin tinggi.
Kebijakan adalah memilih. Tetapi pilihan terbaik tentu yang memenuhi harapan ketiga stakeholders utama negara Indonesia yaitu rakyat, kalangan industri dan kreditor. Jika harus mengorbankan rakyat dan kalangan industri untuk kepentingan kreditor, jelas itu adalah pilihan yang tidak bijak. Buat apa rating utang yang mentereng, tetapi rakyat dan kalangan industri semakin susah dengan kenaikan harga dan biaya.
16 February 2006
RatingKu Sayang, RakyatKu Malang
Labels: Pasar uang-modal, Utang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment