*Jawapos, 18 Nov 2005|Phone Nuryadin
Tahun 2005 yang seharusnya menjadi tahun kebangkitan ekonomi nasional ternyata harus dilewati bangsa dengan berbagai cobaan. Kenaikan harga BBM yang sangat tinggi, kelangkaan BBM dan kebutuhan pokok, serta depresiasi rupiah dan inflasi tinggi telah berdampak buruk pada menurunnya kesejahteraan rakyat dan meningkatnya kemiskinan.
Konon, rentetan beban di atas muncul lantaran pemerintah sangat ragu-ragu dalam mengambil kebijakan menaikkan harga BBM. Namun bulan lalu, pemerintah akhirnya memutuskan kenaikan harga BBM secara rata-rata mencapai 114 persen, yang kemudian disusul dengan kebijakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga.
Pemerintah pun melalui ekonom pendukungnya sangat aktif memberikan kesan bahwa kombinasi kedua kebijakan tersebut berhasil mendorong ekonomi menuju kestabilan dan mengakhiri masa sulit yang dihadapi bangsa. Benarkah?
Keliru Interpretasi
Ceroboh jika dikatakan bahwa kurs rupiah yang stabil menjelang Lebaran serta over-subscribe penjualan obligasi pemerintah dan penurunan penjualan BBM oleh Pertamina merupakan sinyal perbaikan ekonomi menyusul kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM.
Perlu dipahami, kurs rupiah yang stabil menjelang Lebaran merupakan fenomena yang lumrah terjadi sejak beberapa tahun belakangan. Para pemilik uang biasanya menarik dana yang relatif besar dari luar negeri untuk membayar tunjangan hari raya (THR) sehingga sangat membantu keseimbangan nilai tukar rupiah. Dampak kenaikan harga BBM terhadap rupiah yang sesungguhnya baru dapat dilihat pada beberapa minggu setelah Lebaran.
Namun, logikanya, dengan inflasi yang meroket di tengah fundamental ekonomi yang semakin rapuh, sulit berharap rupiah akan menguat atau bahkan stabil. Apalagi pada akhir tahun, akan ada permintaan dolar yang cukup tinggi sehubungan dengan banyaknya utang swasta yang jatuh tempo.
Demikian juga, over-subscribe dalam penawaran obligasi pemerintah seharusnya bukan merupakan sesuatu yang perlu dibanggakan karena memang yield yang ditawarkan pemerintah cukup menggiurkan investor. Wajar jika akhirnya investor berbondong-bondong melakukan penawaran.
Interpretasi lain yang juga sangat ceroboh adalah terhadap fakta menurunnya penjualan BBM oleh Pertamina sekitar 27 persen, antara beberapa waktu sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM. Penurunan yang signifikan tersebut telah diklaim sebagai efektifnya kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dalam upaya menghemat penggunaan energi nasional.
Padahal, seperti diketahui, beberapa waktu sebelum kenaikan harga BBM, permintaan BBM melonjak tajam karena ulah para spekulan yang menimbun BBM. Jika setelah kenaikan harga terjadi penurunan penjualan dari Pertamina, tentu tidak lantas konsumsi BBM dikatakan telah menurun karena masyarakat masih harus mengonsumsi stok yang ada.
Kesulitan Babak Kedua
Terlepas dari berbagai kekeliruan di atas, kesimpulan bahwa telah terjadi perbaikan ekonomi setelah kenaikan harga BBM dan suku bunga hanya merupakan upaya Tim Ekonomi Kabinet untuk membenarkan pilihan kebijakan yang telah diambil. Padahal, alih-alih membaik, ekonomi justru saat ini mulai menunjukkan tanda-tanda akan memasuki periode kesulitan yang baru.
Inflasi Oktober 2005 sekitar 17,9 persen, yang jauh melebihi ekspektasi pemerintah, ekonom, dan bahkan Bank Indonesia, merupakan sinyal buruk akan terjadinya persoalan baru di sektor riil dan moneter. Memang inflasi bulan ini mungkin saja menurun. Tetapi, penurunannya tidak akan signifikan, yaitu sekitar 1-2 persen, sebagai koreksi terhadap berakhirnya Lebaran.
Dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Selain harus menanggung beban yang berat dengan kenaikan biaya transportasi, masyarakat juga harus menanggung kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya. Daya beli masyarakat terus merosot tajam dan hanya akan tertolong jika terjadi penyesuaian penghasilan atau gaji.
Sialnya, industri juga mengalami pukulan berat, bahkan dari dua sisi sekaligus, yaitu peningkatan biaya modal (cost of fund) dan biaya produksi. Peningkatan biaya modal diakibatkan semakin tingginya tingkat suku bunga sehingga menambah beban cicilan utang yang harus dibayar. Sementara biaya produksi praktis meningkat seiring dengan semakin tingginya harga BBM dan harga bahan baku lainnya.
Karena itu, jangankan menaikkan gaji, menanggung tambahan biaya operasional dan biaya modal saja tidak mampu. Isu bahwa akan ada ratusan perusahaan yang menghentikan aktivitas setelah kenaikan harga BBM sangat berpotensi menjadi kenyataan.
Di sisi lain, perbankan juga akan mengalami tekanan yang tidak kalah beratnya. NPL pada kuartal ketiga 2005 yang telah cukup mengkhawatirkan sekitar 8,9 persen dipastikan akan semakin meningkat. Permintaan kredit pun cenderung akan menurun. Kredit konsumsi, misalnya, akan turun tajam dengan fakta bahwa penjualan mobil menurun 31 persen (year on year) pada Oktober 2005.
Singkatnya, pengelolaan ekonomi yang semrawut dan penyelesaian persoalan yang sering dadakan selama setahun terakhir tidak hanya telah menjadi beban masyarakat sepanjang tahun, tetapi juga telah mengantarkan Indonesia memasuki babak baru kesulitan ekonomi.
Koreksi minor kabinet yang dijanjikan Presiden SBY sangat dikhawatirkan hanya cukup untuk memberikan kesan perubahan. Tetapi, tidak mengoreksi berbagai kesemrawutan dalam pengambilan kebijakan selama ini dan mengakhiri beban rakyat yang semakin berat pada tahun mendatang.
18 November 2005
Babak Baru Kesulitan Ekonomi
Labels: Pertumbuhan ekonomi, Subsidi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment