Beberapa minggu lalu, Koalisi Anti Utang (KAU) menyelenggarakan seminar nasional dalam rangka memperingati ulang tahun ke-50 Mafia Berkeley. Kesimpulan utama seminar tersebut adalah kebijakan ekonomi Indonesia yang terus dikendalikan Mafia Berkeley selama 50 tahun terakhir telah menyebabkan Indonesia tertinggal dari negara lain seperti Malaysia, Thailand, dan China.
Mafia Berkeley sendiri sebenarnya bukan hanya sebutan untuk kelompok ekonom Indonesia lulusan Universitas di Berkeley, tetapi juga untuk ekonom lain yang mengekorinya. Tipikal dari ekonom yang menjadi anggota Mafia Berkeley adalah kebijakan anggaran ketat, menghapus subsidi, liberalisasi keuangan, dan meminimalkan peran pemerintah dalam ekonomi sekecil mungkin (privatisasi). Tidak jauh berbeda dengan prinsip kebijakan IMF dan WorldBank.
Menkeu Sri Mulyani rupanya merupakan salah satu ekonom yang merasa tersindir. Dalam Kongres ISEI di Manado, menurut beberapa peserta yang hadir, Sri Mulyani menyampaikan pidato pembelaan dari tuduhan antek IMF dan Mafia Berkeley, sampai matanya berkaca-kaca terharu.
Tapi pepatah mengatakan facts speak louder than words. Sri Mulyani harusnya tidak perlu susah payah berpidato membela diri, apalagi sampai menitikkan air mata segala. Bukankah faktanya sudah cukup banyak? Menolak moratorium utang, pilihan kebijakan yang cenderung monetaris, terus mengadakan rapat rutin dengan WorldBank dan IMF serta berupaya mencari-cari alasan agar utang kepada IMF diundur, dll.
20 June 2006
Facts speak louder than words
Labels: Kebijakan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment