Kondisi ekonomi yang membaik ternyata tidak selamanya menjadi berkah. IMF, lembaga keuangan yang telah malang melintang di lingkungan internasional, malah menghadapi krisis lantaran ekonomi dunia yang tumbuh tinggi selama tiga tahun terakhir.
Ironis, karena secara teoritis maupun pengalaman praktek, kinerja lembaga keuangan biasanya berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Nyaris tidak pernah ada cerita lembaga keuangan yang terkena krisis lantaran ekonomi membaik. Terlebih bagi lembaga sekelas IMF yang selama ini mengaku paling piawai dalam urusan krisis keuangan.
Persoalan terbesar yang dihadapi IMF adalah terus merosotnya posisi pinjaman dan saat ini hanya mencapai sekitar US$ 35 miliar. Angka tersebut merupakan level terendah sejak tahun 1980-an. Padahal, tidak berbeda dengan lembaga keuangan lainnya, pinjaman merupakan salah satu sumber utama penghasilan IMF untuk tetap survive.
Ketika posisi pinjaman merosot, pundi-pundi uang IMF praktis akan terus berkurang karena penerimaan bunga yang lebih rendah. Malah sangat mungkin tidak cukup lagi untuk menutupi biaya operasional. IMF diprediksi akan mengalami kerugian operasional sekitar US$ 600 juta setiap tahunnya selama tiga tahun ke depan dan terancam harus mengurangi jumlah pegawainya.
Makna lain yang jauh lebih penting dari penurunan posisi pinjaman adalah semakin rendahnya kendali IMF terhadap kebijakan ekonomi global. Selama ini pencairan pinjaman pasti dimanfaatkan secara maksimal oleh IMF, melalui perjanjian yang biasa disebut Letter of Intent (LoI), untuk mengendalikan kebijakan ekonomi negara pasiennya.
Tentu masih kuat dalam ingatan, bagaimana IMF berhasil mengendalikan kebijakan ekonomi Indonesia pada saat krisis ekonomi 1998 lalu. Jumlah prasyarat yang diberikan pun tidak tanggung-tanggung hingga mencapai 140 prasyarat.
Kebijakan yang dikendalikan ternyata malah tidak terbatas pada sektor finansial dan moneter, tetapi juga mencakup kebijakan teknis mikroekonomi yang praktis ada di luar kompetensi IMF. Padahal, pinjaman IMF tersebut tidak memiliki manfaat langsung bagi ekonomi karena hanya bersifat cadangan kedua (second lier defense), yaitu sebagai tambahan cadangan devisa dan baru dapat digunakan jika Indonesia telah menghabiskan seluruh cadangan devisa yang ada
Terlepas dari itu, ketika posisi pinjaman IMF berkurang seperti sekarang ini, IMF otomatis kehilangan kemampuannya untuk mendikte kebijakan ekonomi suatu negara. Contoh yang paling aktual adalah ketidakberdayaan IMF untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi Cina sebulan terakhir. Seperti diketahui, kebijakan Cina mematok nilai Yuan di level yang rendah disinyalir menjadi salah satu penyebab defisitnya neraca perdagangan Amerika Serikat.
Namun IMF, yang power vote-nya dikuasai Amerika Serikat, ternyata tidak mampu berbuat banyak untuk menindaklanjutinya. Kenapa? Karena IMF tidak lagi memiliki portfolio pinjaman di Cina, sehingga tidak lagi dapat mendikte Cina untuk mendepresiasikan nilai Yuan.
Sekarang pertanyaannya, apa hubungannya ekonomi dunia yang membaik dengan krisis yang dialami IMF? Pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi selama 4 tahun terakhir, telah mendorong peningkatan aliran modal ke negara Asia dan Amerika Latin. Dari 2001 sampai 2005, negara-negara berkembang di Asia menikmati peningkatan cadangan devisa hingga mencapai 150 persen atau dua setengah kalinya. Demikian juga negara Amerika Latin yang mengalami peningkatan cadangan devisa hampir 100 persen.
Peningkatan cadangan devisa tersebut tidak disia-siakan oleh negara-negara yang menjadi pasien IMF. Tidak kurang 10 negara termasuk Brazil, Argentina dan Rusia akhirnya melunasi utang mereka lebih cepat dari jadwalnya.
Indonesia?
Setelah 10 negara di atas melunasi utangnya kepada IMF, Indonesia akhirnya menjadi debitor IMF terbesar kedua setelah Turki. Besar kemungkinan IMF akan menggunakan segala cara untuk mempertahankan utangnya di Indonesia.
Sebenarnya, posisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan Brasil dan Argentina. Sama-sama telah menjadi korban malpraktik IMF, tetapi tidak lagi terikat dengan Letter of Intent, dan juga sama-sama menikmati peningkatan cadangan devisa yang signifikan selama beberapa tahun terakhir.
Hanya bedanya, Argentina dan Brasil berani memutuskan untuk menggunakan cadangan devisa mereka untuk membayar seluruh utangnya kepada IMF. Sementara Indonesia sampai titik ini masih mempertahankan keberadaan utang IMF sekitar US$ 7,51 miliar.
Padahal tidak ada lagi alasan bagi Indonesia untuk tidak mengikuti langkah Argentina dan Brasil. Daripada menganggung bunga sekitar 4,3% (US$ 323 juta/tahun) dan kebijakan ekonomi terus diintervensi IMF, kenapa tidak dilunasi saja secepatnya?
Posisi cadangan devisa Indonesia sudah sangat tinggi hingga sekitar US$ 44 miliar. Jika utang IMF dilunasi sekaligus, sisa cadangan devisa masih cukup besar sekitar US$ 36,5 miliar atau setara dengan 5,9 bulan impor + cicilan utang (Asumsi rata-rata impor dan cicilan utang per bulan masing-masing sekitar US$ 4,8 miliar dan US$ 1,43 miliar). Sehingga relatif tidak akan banyak berpengaruh pada Rupiah.
Kendalanya di Indonesia saat ini masih banyak bercokol teknokrat kaki tangan IMF yang sibuk mencari alasan agar utang IMF tidak dilunasi. Beberapa waktu lalu, Menkeu Sri Mulyani, menyatakan pelunasan utang IMF akan beresiko bagi anggaran karena juga harus diikuti pelunasan utang JBIC. Ini alasan yang disengaja dan berlebihan hanya untuk memperumit persoalan, karena perjanjian tersebut sangat terbuka untuk dinegosiasikan.
Benar saja. Kemarin, JBIC ternyata merestui bahwa pelunasan utang IMF tidak akan dikaitkan dengan utang JBIC. Gobble... gobble.. gobble..
Sekarang tidak ada lagi alasan yang tersisa. Selain pemerintah ingin menjadi penyelamat IMF.
16 June 2006
Penyelamat IMF
Labels: Utang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment